Anda Tidak Hancur Apabila Anda Kalah
Anda Hancur Apabila Anda Berhenti Berusaha
( William V. Crouch )

Minggu, 29 November 2009

Saat Bahasa Menjadi Sebuah Kendala


Asian Parliamentary Assembly
Saat Bahasa Menjadi Sebuah Kendala


Bandung - Bangsa Asia punya bahasa lebih beragam dibandingkan misalnya di benua Eropa dan Amerika. Sidang Parliamentary Assembly (APA) pun berlangsung penuh warna bahasa. Sebagai sebuah forum internasional, bahasa Inggris tentu menjadi bahasa andalan untuk berkomunikasi di luar acara sidang. Namun justru dalam berbagai sidang pleno resmi, banyak delegasi yang menggunakan bahasa nasional.Untuk itu panitia APA selalu menyediakan penerjemah di dalam sidang pleno. Peserta sidang tinggal mendengarkan melalui earphone, bahasa apa yang dipahaminya. Resminya ada 7 bahasa yang dipakai dalam sidang APA, yaitu bahasa Inggris, Arab, Indonesia, Korea, Mandarin, Parsi dan Rusia.Meski demikian, tetap saja masih ada kendala bahasa. Misalnya saja delegasi Kamboja secara mendadak minta disediakan penerjemah. Kalau sudah begini, yang direpotkan adalah operator penerjemah."Kamboja memaksa meminta interpreter bahasa Kamboja, tapi, ya, susahlah kalau mendadak seperti itu," kata seorang petugas interpreter yang enggan disebut namanya di Hotel Savoy Homann, Bandung, Rabu (9/12/2009).Padahal menjadi interpreter cukup rumit tugasnya. Dalam sebuah persidangan, para delegasi bisa berbicara dengan bahasa masing-masing. Para penerjemah pun berjibaku menerjemahkannya untuk delegasi lain.Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) Hidayat Nur Wahid pernah pula diminta delegasi Bangladesh agar apa menyediakan bahasa Bengali. Permintaan ini disampaikan saat sidang Dewan Eksekutif Senin (7/12) sebelum pembukaan APA. Permintaan ini ditampung, namun karena mendadak sulit juga untuk dikabulkan. Bagaimana dengan delegasi Indonesia? Untuk berdialog, banyak juga yang cas cis cs berbahasa Inggris. Hidayat Nur Wahid pun dikenal sangat fasih berbahasa Arab. Namun untuk memberi pernyataan resmi dalam sidang pleno, mereka berbahasa Indonesia."Ada undang-undangnya kalau dalam forum resmi kita justru harus berbahasa Indonesia," kata Ketua DPR Marzuki Alie di sela-sela sidang APA.UU yang dimaksud adalah UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Walhasil, Marzuki pun berbahasa Indonesia dalam pidato pembukaan sidang APA di Gedung Merdeka, Bandung pada Selasa (8/12) lalu. Presiden SBY dalam kesempatan yang sama pun menyampaikan sambutannya dengan bahasa Indonesia.



Minggu, 22 November 2009

Pertarungan Trust Bank Century


Pertarungan Trust Bank Century


KASUS Bank Century bukanlah sekadar kasus perbankan ataupun pengingkaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Namun, kasus ini telah memasuki ranah politik, dengan terbangunnya perdebatan antarelite politik mengenai layak tidaknya bank tersebut mendapatkan bantuan. Persoalan ini juga kembali mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan kita beserta dengan para pelakunya. Bantuan bailout dan sejumlah dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kembali diperdebatkan. Dua pertanyaan besar yang kemudian muncul, yaitu 1) apakah Bank Century masih layak untuk tetap sustain?, 2) jika kasus obligasi ‘bodong’ tidak mencuat ke permukaan apakah Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan bahwa bank tersebut tidak sehat? Kekhawatiran nasabah Bank Century ternyata beralasan dan hampir terbukti. Pasalnya berdasarkan data LPS pada Juli 2008, Bank Century sudah mengalami kesulitan likuiditas dan sejumlah nasabah besar pun menarik dana pihak ketiga (DPK) miliknya. Hal itu berlanjut dengan seringnya bank ini melanggar ketentuan giro wajib minimum (GWM) yang harus dipenuhinya. Kondisi itu diperparah dengan keresahan dan ketidakpercayaan nasabahnya yang kemudian dengan tidak mudah menarik dana untuk menghindari kemungkinan buruk, yaitu kehilangan uang. Data LPS juga menyebutkan bahwa pada November-Desember 2008 terjadi penarikan DPK oleh nasabah sebesar Rp5,67 triliun. Padahal hasil audit akuntan publik Aryanto Yusuf dan Mawar atas laporan keuangan Bank Century, DPK yang ada saat itu sebesar Rp9,635 triliun, artinya Bank Century kehilangan lebih dari setengah DPK hanya dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan. Sejak terbitnya Paket Oktober tahun 1988 atau dikenal dengan sebutan Pakto-88 yang meliberalisasi industri perbankan Indonesia, pengawasan terhadap perbankan semakin sulit dilakukan. Banyak pengusaha yang sama sekali tidak memiliki latar belakang perbankan mendirikan bank dengan tujuan memperoleh dana masyarakat yang dipercayakan untuk membiayai anak perusahaannya. Karena hanya dengan setoran Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan bank. Ketika itu, industri perbankan mudah untuk dimasuki sehingga sekitar 160 bank lahir pada saat itu, tetapi seolah tak terpikirkan betapa sulitnya untuk dapat keluar dari industri ini. Hal itu juga yang kemudian naik ke permukaan ketika krisis moneter 1998 dan kemudian menimbulkan kasus BLBI yang hingga saat ini kasusnya masih belum selesai. Hal itu seharusnya menjadi pelajaran yang sangat mahal, yaitu Rp144 triliun (merupakan dana BLBI yang sampai saat ini menjadi kontroversi) bahwa betapa pentingnya pengawasan terhadap bank sehingga kasus seperti Bank Century ini dapat dihindari.

Pertanyaan mengenai kelayakan Bank Century untuk tetap sustain, akan menjadi pertanyaan yang sulit dijawab pemerintah. Walau bagaimana pun, permintaan pemerintah kepada LPS untuk melakukan bailout atas Bank Century mengindikasikan bahwa pemerintah beranggapan Bank Century layak untuk tetap sustain, tapi melihat efek jangka panjangnya, hal itu memberikan contoh yang tidak baik terhadap dunia perbankan ke depan. Atau mungkin pemerintah sudah menganggap ini sebagai masalah sistemik yang akan memberi efek domino kepada bank-bank lainnya. Kasus Bank Century memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perbankan sehingga terjadi sebuah bank menjual reksa dana tanpa mempunyai izin sebagai agen penjual reksa dana (APERD) dan menjual obligasi tanpa nilai. Di manakah tanggung jawab Bapepam sebagai badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan dalam hal ini serta BI sebagai pengatur dan pengawas bank? Sebelumnya kasus pengelapan juga terjadi di Bank Global. Saat itu, terjadi penggelapan oleh oknum pegawai bank tersebut terhadap dana nasabah yang seharusnya dikonversi dari deposito ke investasi reksa dana. Jika dikaitkan dengan penerapan tata kelola pemerintahan maupun perusahaan yang baik, kedua kasus tersebut merupakan ‘pelecehan’ terhadap lembaga pengawas keuangan seperti Bapepam-LK dan Bank Indonesia, tetapi yang terjadi seolah-olah saling melempar bola panas antarinstitusi pengawas keuangan kita. Bagi organisasi perbankan kita, hal itu juga merupakan suatu tamparan bahwa meskipun secara umum bank-bank di Indonesia sudah memperbaiki dirinya seperti penerapan good corporate governance maupun risiko manajemen, tapi masih ada pelanggaran beberapa hal yang menyangkut etika profesi. Secara umum kedua kasus tersebut memang harus dilihat dari dua sudut baik peraturan perbankan maupun tindakan kriminal. Peraturan perbankan yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dalam bentuk aturannya saja, tetapi juga implementasiannya. Hal itulah yang perlu dijawab Bapepam-LK dan BI dalam fenomena kedua kasus tersebut. Namun, jika yang terjadi adalah indikasi yang kedua, yaitu adanya tindakan kriminal, seketat apa pun peraturan diterapkan, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin pembobolan, penipuan, dan sebagainya dalam perbankan dapat dihapuskan. Untuk memperkecil peluang kejadian serupa dapat terulang kembali, perlu adanya antisipasi khusus dari Bapepam-LK dan BI terutama mengenai kepemilikan saham suatu bank serta kaitan antara bank dan suatu grup usaha karena dikhawatirkan dana yang dikumpulkan dari masyarakat hanya disalurkan kepada perusahaan dalam grupnya bahkan tanpa memperhatikan aspek dari kelayakan usahanya dan juga berpotensi terjadi penggelembungan (mark up) padahal pengelola keuangan harus terbebas dari berbagai konflik kepentingan. Selain itu, lemahnya sistem hukum yang ada akan membuat para ‘bankir nakal’ untuk berhitung untung-rugi melakukan pembobolan atau penipuan perbankan. Hal itulah yang harus diminimalisasi dengan penegakan hukum kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Kasus-kasus tersebut menjadi salah satu penghambat dalam pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Hal fundamental yang sering terlupakan dalam upaya penguatan kembali ekonomi kita, yaitu: kejujuran dan transparansi yang diikat elemen kepercayaan (trust). Akibatnya, jangankan mampu untuk mengatasi masalah dan menguatkan kembali perekonomian terutama pasar keuangan, melihat apa yang tengah berlangsung pun, pemerintah sepertinya belum memiliki informasi akurat. Dengan demikian, wajar jika masyarakat sebagai pelaku ekonomi meragukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah saat ini dan cenderung berpikiran logis untuk mengamankan dana yang mereka miliki. Situasi ini yang kemudian disebut pemerintah sebagai kepanikan. Pemerintah harus becermin lebih dalam dan mengajarkan serta memberikan contoh mengenai kejujuran dan transparansi sehingga dapat terus memelihara kepercayaan kita semua.




Kamis, 19 November 2009

MASALAH - MASALAH BANK CENTURY


Apakah BI Penyebab Terjadinya Masalah Bank Century dan DPR tuding BI penyebab jatuh nya bank Century 


Pada tulisan sebelumnya berjudul “APAKAH Benar BANK Century  Merupakan Bank gagal yang berpontensi sistemik"" saya mengajak berdiskusi tentang ketepatan alasan penyelamatan Bank Century dan memperkenalkan pendekatan analisis cost, benefit dan risiko yang sistematis dan menyeluruh untuk benar-benar dapat memutuskan apakah Bank Century sebaiknya diselamatkan atau ditutup saja. Keputusan seorang profesional harus selalu bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
Mari kita berpindah pokok bahasan
Sekarang mari kita beralih ke isu tentang kenapa Bank Century sampai mengalami kondisi parah sampai-sampai harus diselamatkan. Penyebab utama yang paling jelas adalah adanya tindakan kriminal perampokan Bank Century oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular yang saat ini sedang disidangkan. Untuk hal ini, ada baiknya kita mengikuti persidangannya. Sebab jika mengingat prestasi pengadilan umum kita selama ini, saya ragu Robert Tantular bisa mendapatkan hukuman yang setimpal. Dan juga ada hal lain yang harus kita awasi terus, yaitu penyitaan aset Robert Tantular, untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar kembali ke negara. Ini PR buat teman-teman Kompasianer. Dari penyebab utama tersebut lalu muncul lah pertanyaan-pertanyaan logis seperti berikut : Kenapa BI bisa tidak tahu ?, Memangnya kasus Bank Century langsung terjadi seperti sekarang tanpa ada tahapan-tahapan eskalasi masalahnya sehingga BI tidak bisa mengetahuinya ? atau pertanyaan yang mungkin lebih sadis lagi adalah : Memangnya kerja BI selama ini bagaimana ya ? Dari pendapat-pendapat yang berkembang, ada 2 isu yang menarik untuk diperhatikan tentang penyebab tidak bisa dicegahnya kasus Bank Century .

Apakah Penyebabnya adalah Pengawasan BI yang lemah ?
Pertama, adalah “lemahnya pengawasan BI”. Pendapat seperti itu, salah satunya disuarakan oleh JK. Tentu saja maksud dari pendapat tersebut adalah bahwa seharusnya tidak mungkin BI tidak mengetahuinya karena peristiwa tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Gejalanya pasti sudah ada ketika masalah tersebut secara bertahap membesar menjadi seperti sekarang ini. Pernyataan tersebut dibantah oleh BI seperti dapat dibaca pada artikel di Kompas bertajuk "pengawasan ketat, manipulasi tetap bisa terjadi "tanggal 31 agustus 2009 Memang benar manipulasi selalu bisa terjadi sekalipun ada pengawasan yang ketat. Mengingat kasus Bank Century tidak terjadi dalam sekejap mata, pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengawasan BI juga tidak bisa menangkap gejala yang ada ketika permasalahan tersebut mengalami eskalasi secara bertahap sampai kondisi yang sekarang ini ? Pertanyaan itulah yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara profesional oleh Direktorat Pengawasan Bank Indonesia. Dan pertanyaan itu seharusnya disikapi dengan root cause analysis untuk melakukan, jika perlu, re-engineering filosofi, paradigma, strategi, pendekatan, sistem dan mekanisme proses kerja pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Kesadaran terhadap kebutuhan root-cause analysis untuk penyempurnaan ini seharusnya ada dibenak pejabat BI yang lebih tinggi sehingga usaha penyempurnaan yang efektif memang dapat menghasilkan penyempurnaan yang nyata dan tidak hanya sekedar diatas kertas saja. Kita tidak bisa berlindung pada sistem dan prosedur jika ternyata kita ‘kecolongan’. Ada yang salah pada sistem dan prosedur pengawasan sehingga kita tidak bisa menemukan atau sistem dan prosedur pengawasan sudah baik tetapi tidak tindak lanjut yang efektif dan segera terhadap hal-hal yang ditemukan. Tidak ada gunanya memberikan status comply sementara substansi permasalahan yang sesungguhnya tidak terungkap karena tidak diamati dan diteliti dengan memadai. Sudah bosan rasanya mendengar ’sudah comply’ tetapi tetap ada banyak masalah dan status tersebut tidak bisa mendorong pertumbuhan yang sesungguhnya. Beginilah nasib negara ini yang selalu terpaku pada compliance yang normatif. Hasil nyatanya hanyalah kesusahan pada rakyat saja. Ketidakefektifan pengawasan tersebut menimbulkan pertanyaan selanjutnya yaitu : Jangan-jangan tidak ada mekanisme peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan BI tersebut ? atau mungkin sudah ada, tetapi mekanisme peer review tersebut tidak efektif. Peer review dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. BI harus mengevaluasi pihak ketiga yang melaksanakan peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan yang dimilikinya jika terbukti sistem dan mekanisme pengawasan yang dimiliki ternyata tidak efektif. Diluar aspek efektifitasnya, BPK di peer review oleh ‘BPK’ dari negara lain yang tergabung didalam asosiasi ‘BPK’ dunia bernama INTOSAI seperti dipostingkan salah satu pembacanya di detik dengan tajuk "penyerahan hasil peer review BPK Ri" di Detik tanggal 20 Agustus 2009.

BI bukannya tidak tahu gejalanya, hanya saja tidak tepat menyikapinya ?
Jika ternyata sistem dan proses kerja pengawasan yang dilaksanakan memang sudah berhasil menemukan gejala-gejala masalah yang terjadi pada Bank Century maka pertanyaan berikutnya adalah : Kenapa BI tidak menyikapinya dengan suatu keputusan yang bersifat mencegah permasalahan menjadi berkembang luas ? Pada tulisan Kompas bertajuk "Bank Nakal Jangan Dibantu" 2 September 2009, Drajat mengatakan bahwa “Kesalahan BI bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas.“ Mengenai adanya eskalasi masalah Bank Century kita bisa mengikuti pendapat Drajat Wibowo : ”Ada tiga kesempatan di mana seharusnya bank tersebut ditutup, tetapi BI tak melakukannya,”

Berikut kutipan penjelasan mengenai contoh tidak tepatnya sikap yang diambil oleh BI:

Menurut Dradjad, BI pada tahun 2003 telah mengetahui ketidakberesan Bank CIC (yang lalu bersama Bank Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century tahun 2004) dengan indikasi adanya surat-surat berharga (SSB) valas sekitar Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual. SSB valas yang berpotensi bodong sebenarnya tidak boleh dibeli bank. Keberadaan SSB valas tersebut hanya untuk menyelamatkan neraca bank, yang sejatinya sudah kolaps. Ada indikasi penipuan yang dilakukan pemegang saham. Namun, saat itu BI tidak tegas untuk tidak mengakui SSB valas tersebut. Sebagai solusi, BI malah menyarankan merger. Pascamerger, ternyata SSB valas itu masih bercokol di neraca Bank Century. Instruksi BI agar SSB valas itu dijual ternyata tak bisa dilakukan pemegang saham. ”Saat itu BI sebetulnya kembali punya kesempatan untuk menutup Century, tetapi itu tak juga dilakukan,” katanya. Solusi permasalahan saat itu adalah pembuatan asset management agreement di mana pemegang saham menjamin SSB valas tersebut dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih. Saat Bank Century akhirnya benar-benar kolaps akibat kekurangan likuiditas dan pemburukan aset tahun 2008, ternyata BI kembali menyelamatkannya dengan alasan sistemik. Jadi menurut saya, masalah sesungguhnya adalah pada pengambilan keputusan. Tentu saja pengambilan keputusan yang efektif itu haruslah CEPAT dan sekaligus TEPAT karena menggunakan metode dan pendekatan (baca: analisis cost, benefit dan risiko) yang dapat dipertanggungjawabkan. Baca juga tulisan saya sebelumnya " Apakah bank century merupakan bank gagal yang berpontensi sitemik ?"yang menyinggung masalah pengambilan keputusan juga. Bagaimanapun karakteristik kepribadian dan perilaku seseorang tidak boleh mengorbankan persaratan pengambilan keputusan yang efektif. Seseorang harus bisa merubah kualifikasi dirinya untuk menjadi seorang pengambil keputusan yang efektif jika dia menjadi seorang pemimpin, apapun tingkat kepemimpinannya. Game utama seorang pemimpin adalah pengambilan keputusan yang efektif. Semakin tinggi tingkatan kepemimpinannya maka semakin kompleks dan kebutuhan keputusan yang segera dan tepat menjadi kata kuncinya.


Kesimpulan
Saya secara pribadi sangat berharap bahwa pada akhirnya dapat diketahui situasi yang sesungguhnya, yaitu apakah sistem dan proses kerja pengawasanyang memang lemah atau pengambilan keputusan yang tidak tepat dan segera. Hal itu penting agar dapat dilakukan pembenahan yang tepat. Pengawasan yang efektif akan mampu mendeteksi permasalahan lebih dini. Sikap yang tepat terhadap hasil pengawasan membutuhkan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dan segera sesuai dengan tingkat urgensinya. Melaksanakan pengawasan hanya bertumpu pada compliance yang normatif cenderung tidak akan menemukan masalah-masalah substasial yang sebenarnya terjadi. Dibutuhkan kemampuan analisa yang luas dan mendalam, lebih dari sekedar pengumpulan data dan kelengkapan pengisian form compliance checking. Kegagalan menemukan gejala sesuatu permasalahan yang sesungguhnya sedang terjadi juga mengindikasikan tidak efektifnya sistem dan proses kerja pengawasan yang dimiliki. Setiap kegagalan yang dialami suatu sistem dan proses kerja sudah seharusnya memicu penyempurnaannya yang pelaksanaannya juga harus bisa menghasilkan perubahan substansial yang nyata, bukan hanya terpaku pada produk dokumentasi.


DPR Tuding BI Penyebab Kejatuhan Bank Century

Bank Indonesia (BI) dituding menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam jatuhnya Bank Century sehingga harus disuntik dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo mengatakan BI sangat pandai dalam menemukan masalah terjadi pada perbankan, namun masih lemah dalam penindakan. “Dari dulu harus dirombak total. Kelemahan BI ada di pengawasan bank, BI sangat pintar menemukan masalah tapi penindakan lemah. Jadi harus dirombak BI. Saya dari dulu tidak setuju dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) karena beri beban tambahan. Solusi bukan OJK, tapi rombak total BI,” tandasnya. Menurut Dradjad jika BI bisa bertindak cepat menyelesaikan permasalahan ini, maka kasus Bank Century tidak akan sebesar ini dan dana yang dikeluarkan tidak mencapai Rp6,7 triliun. Pihak LPS, dikatakan Dradjad tidak memberikan data akurat kepada DPR mengenai besaran biaya penyelamatan Bank Century yang dinilai sangat besar. Karena itu Komisi XI meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terhadap penyelamatan Bank Century. “Apakah Century ini termasuk sistemik, lalu apa memang penyelamatannya butuh Rp6,7 triliun karena berdasarkan pengalaman 1998, deposan mana saja yang sudah memperoleh pengembalian lebih cepat,” katanya. Dradjad juga menyambut baik investigasi atau penyelidikan dilakukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap masalah Bank Century ini.  “Alat yang dimiliki KPK lebih lengkap dibanding Komisi XI. Kalau kita cuma ada lewat rapat. KPK berhak menyadap dan menyita, kami berharap investigasi bisa lebih cepat lagi dengan adanya KPK yang masuk,” tandasnya. “Ini adalah uang negara, jadi janggal kalau tidak dilaporkan kepada DPR,” tegasnya lagi. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai masalah membelit Bank Century bukan lah masalah krisis melainkan masalah kriminal, perampokan. Kasus Bank Century ini juga sekaligus menjadi bukti lemahnya pengawasan Bank Indonesia. “Saya terima Menkeu dan Gubernur BI (ketika itu) Pak Boediono melaporkan tentang situasi bank Century (tanggal 25). Dan saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis, tapi itu perampokan, kriminal. Karena pengendali bank ini merampok dana bank Century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri,” urai JK. Hal itu disampaikan Wapres JK dalam keterangan persnya di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (31/8).

Kronologi bailout

JK juga membantah semua kronologi bailout yang disampaikan Menkeu sebelumnya. JK tetap bersikukuh dirinya tidak diberi tahu soal bailout Bank Century yang kini sudah membengkak hingga Rp6,7 triliun. Yang pasti, dalam pertemuan sebelumnya antara Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI yang ketika itu dijabat Boediono, JK telah menegaskan bahwa masalah ini adalah karena kelemahan BI. “Saya katakan dalam pertemuan itu, ini kriminal, ini perampokan, kenapa kita tolerir. Itulah kelemahan pengawasan BI di situ. Jadi benar menkeu bahwa ini kelemahan BI sebenarnya, yang terpaksa jadi tanggung jawab semuanya, Bahkan ketika itu JK sudah menyatakan agar pemilik Bank Century sebelumnya yakni Robert Tantular harus ditangkap karena masalah ini adalah masalah kriminal. “Karena itu maka saya bilang, pak, penyelesaiannya yang harus ini orang (robert tantular) ditangkap dulu karena kriminal dan perampokan. Karena itu saya minta Gubernur BI Pak Boediono agar ini dilaporkan ke Polisi. Tapi jawaban BI, “Ini tidak ada dasar hukumnya