Anda Tidak Hancur Apabila Anda Kalah
Anda Hancur Apabila Anda Berhenti Berusaha
( William V. Crouch )

Minggu, 22 November 2009

Pertarungan Trust Bank Century


Pertarungan Trust Bank Century


KASUS Bank Century bukanlah sekadar kasus perbankan ataupun pengingkaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Namun, kasus ini telah memasuki ranah politik, dengan terbangunnya perdebatan antarelite politik mengenai layak tidaknya bank tersebut mendapatkan bantuan. Persoalan ini juga kembali mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan kita beserta dengan para pelakunya. Bantuan bailout dan sejumlah dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kembali diperdebatkan. Dua pertanyaan besar yang kemudian muncul, yaitu 1) apakah Bank Century masih layak untuk tetap sustain?, 2) jika kasus obligasi ‘bodong’ tidak mencuat ke permukaan apakah Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan bahwa bank tersebut tidak sehat? Kekhawatiran nasabah Bank Century ternyata beralasan dan hampir terbukti. Pasalnya berdasarkan data LPS pada Juli 2008, Bank Century sudah mengalami kesulitan likuiditas dan sejumlah nasabah besar pun menarik dana pihak ketiga (DPK) miliknya. Hal itu berlanjut dengan seringnya bank ini melanggar ketentuan giro wajib minimum (GWM) yang harus dipenuhinya. Kondisi itu diperparah dengan keresahan dan ketidakpercayaan nasabahnya yang kemudian dengan tidak mudah menarik dana untuk menghindari kemungkinan buruk, yaitu kehilangan uang. Data LPS juga menyebutkan bahwa pada November-Desember 2008 terjadi penarikan DPK oleh nasabah sebesar Rp5,67 triliun. Padahal hasil audit akuntan publik Aryanto Yusuf dan Mawar atas laporan keuangan Bank Century, DPK yang ada saat itu sebesar Rp9,635 triliun, artinya Bank Century kehilangan lebih dari setengah DPK hanya dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan. Sejak terbitnya Paket Oktober tahun 1988 atau dikenal dengan sebutan Pakto-88 yang meliberalisasi industri perbankan Indonesia, pengawasan terhadap perbankan semakin sulit dilakukan. Banyak pengusaha yang sama sekali tidak memiliki latar belakang perbankan mendirikan bank dengan tujuan memperoleh dana masyarakat yang dipercayakan untuk membiayai anak perusahaannya. Karena hanya dengan setoran Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan bank. Ketika itu, industri perbankan mudah untuk dimasuki sehingga sekitar 160 bank lahir pada saat itu, tetapi seolah tak terpikirkan betapa sulitnya untuk dapat keluar dari industri ini. Hal itu juga yang kemudian naik ke permukaan ketika krisis moneter 1998 dan kemudian menimbulkan kasus BLBI yang hingga saat ini kasusnya masih belum selesai. Hal itu seharusnya menjadi pelajaran yang sangat mahal, yaitu Rp144 triliun (merupakan dana BLBI yang sampai saat ini menjadi kontroversi) bahwa betapa pentingnya pengawasan terhadap bank sehingga kasus seperti Bank Century ini dapat dihindari.

Pertanyaan mengenai kelayakan Bank Century untuk tetap sustain, akan menjadi pertanyaan yang sulit dijawab pemerintah. Walau bagaimana pun, permintaan pemerintah kepada LPS untuk melakukan bailout atas Bank Century mengindikasikan bahwa pemerintah beranggapan Bank Century layak untuk tetap sustain, tapi melihat efek jangka panjangnya, hal itu memberikan contoh yang tidak baik terhadap dunia perbankan ke depan. Atau mungkin pemerintah sudah menganggap ini sebagai masalah sistemik yang akan memberi efek domino kepada bank-bank lainnya. Kasus Bank Century memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perbankan sehingga terjadi sebuah bank menjual reksa dana tanpa mempunyai izin sebagai agen penjual reksa dana (APERD) dan menjual obligasi tanpa nilai. Di manakah tanggung jawab Bapepam sebagai badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan dalam hal ini serta BI sebagai pengatur dan pengawas bank? Sebelumnya kasus pengelapan juga terjadi di Bank Global. Saat itu, terjadi penggelapan oleh oknum pegawai bank tersebut terhadap dana nasabah yang seharusnya dikonversi dari deposito ke investasi reksa dana. Jika dikaitkan dengan penerapan tata kelola pemerintahan maupun perusahaan yang baik, kedua kasus tersebut merupakan ‘pelecehan’ terhadap lembaga pengawas keuangan seperti Bapepam-LK dan Bank Indonesia, tetapi yang terjadi seolah-olah saling melempar bola panas antarinstitusi pengawas keuangan kita. Bagi organisasi perbankan kita, hal itu juga merupakan suatu tamparan bahwa meskipun secara umum bank-bank di Indonesia sudah memperbaiki dirinya seperti penerapan good corporate governance maupun risiko manajemen, tapi masih ada pelanggaran beberapa hal yang menyangkut etika profesi. Secara umum kedua kasus tersebut memang harus dilihat dari dua sudut baik peraturan perbankan maupun tindakan kriminal. Peraturan perbankan yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dalam bentuk aturannya saja, tetapi juga implementasiannya. Hal itulah yang perlu dijawab Bapepam-LK dan BI dalam fenomena kedua kasus tersebut. Namun, jika yang terjadi adalah indikasi yang kedua, yaitu adanya tindakan kriminal, seketat apa pun peraturan diterapkan, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin pembobolan, penipuan, dan sebagainya dalam perbankan dapat dihapuskan. Untuk memperkecil peluang kejadian serupa dapat terulang kembali, perlu adanya antisipasi khusus dari Bapepam-LK dan BI terutama mengenai kepemilikan saham suatu bank serta kaitan antara bank dan suatu grup usaha karena dikhawatirkan dana yang dikumpulkan dari masyarakat hanya disalurkan kepada perusahaan dalam grupnya bahkan tanpa memperhatikan aspek dari kelayakan usahanya dan juga berpotensi terjadi penggelembungan (mark up) padahal pengelola keuangan harus terbebas dari berbagai konflik kepentingan. Selain itu, lemahnya sistem hukum yang ada akan membuat para ‘bankir nakal’ untuk berhitung untung-rugi melakukan pembobolan atau penipuan perbankan. Hal itulah yang harus diminimalisasi dengan penegakan hukum kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Kasus-kasus tersebut menjadi salah satu penghambat dalam pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Hal fundamental yang sering terlupakan dalam upaya penguatan kembali ekonomi kita, yaitu: kejujuran dan transparansi yang diikat elemen kepercayaan (trust). Akibatnya, jangankan mampu untuk mengatasi masalah dan menguatkan kembali perekonomian terutama pasar keuangan, melihat apa yang tengah berlangsung pun, pemerintah sepertinya belum memiliki informasi akurat. Dengan demikian, wajar jika masyarakat sebagai pelaku ekonomi meragukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah saat ini dan cenderung berpikiran logis untuk mengamankan dana yang mereka miliki. Situasi ini yang kemudian disebut pemerintah sebagai kepanikan. Pemerintah harus becermin lebih dalam dan mengajarkan serta memberikan contoh mengenai kejujuran dan transparansi sehingga dapat terus memelihara kepercayaan kita semua.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar