IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK PERUSAHAAN PUBLIK INDONESIA
Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Pada April 1998, (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai Negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua Negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip good corporate governance yang dikembangkan OECD meliputi 5 hal sebagai berikut :
1. Perlindungan Terhadap Pemegang Saham.
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak-hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk (1) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS, (5) memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.
2. Persamaan Perlakuan terhadap Pemegang Saham
Kerangka corporate governance harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliku, kesempatan untuk mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkanadanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktek-praktek insider trading dan self dealing, dan mengharuskan anggota dewan komisaris untuk melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).
1. Peranan Stakeholder Terkait dengan perusahaan
2. Keterbukaan dan Transparansi
3. Akuntabilitas Dewan Komisaris
Perlindungan Hak Pemegang Saham -Tinjauan Terhadap Pelaksanaan
(RUPS)
A. Kerangka Hukum Pelaksanaan
RUPS Tahunan
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Tebatas dan Undang- Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, setiap perusahaan wajib mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan dalam jangka waktu enam bulan setelah tutup tahun buku. Dalam rangka RUPS ini, direksi wajib menyusunan laporan yang meliputi paling tidak laporan keuangan tahunan terakhir, informasi tentang kegiatan usaha dan perubahannya, problem yang dihadapi, dan hasil-hasil yang telah dicapai. Laporan tersebut juga mengungkapkan nama Direksi dan Komisaris berikut remunerasi masing-masing direksi atau komisaris. Untuk perusahaan terbuka, laporan keuangan harus diperiksa (diaudit) oleh Akuntan Pulik dan dipublikasikan dalam dua surat kabar berperedaran nasional. Jika dokumen tersebut tidak benar atau menyesatkan, para direktur dan komisaris secara pribadi dapat bertanggung jawab kepada setiap pihak yang menderita kerugian. BAPEPAM juga telah menetapkan peraturan VIII.G.2 yang merinci hal-hal apa saja yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan terbuka. Laporan tahunan harus mencakup antara lain ikhtiar data keuangan penting perusahaan untuk periode 5 (lima) tahun; analisis dan pembahasan manajemen; penjelasan mengenai nvestasi/divestasi, ekspansi, transaksi yang mengundang benturan kepentingan, dan transaksi dengan pihak afiliasi; serta Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Pasar Modal juga mengatur mengenai tata cara pelaksanaan RUPS. Pemanggilan pemegang saham dilakukan oleh direksi 14 hari sebelum RUPS dengan menggunakan surat tercatat, dan untuk perusahaan terbuka, menggunakan pemberitahuan di dua surat kabar paling tidak 28 hari sebelum RUPS. Pemberitahuan atau pemanggilan tersebut harus mencakup waktu, tempat, dan agenda RUPS. Kuorum untuk RUPS adalah separuh dari hak suara pada RUPS pertama dan sepertiga dari hak suara pada RUPS yang kedua. Keputusan persetujuan dalam RUPS diambil musyawarah mufakat. Jika persetujuan melalui musyawarah tidak tercapai, pengambilan suara dengan sistem simple majority harus dilakukan.
B. Kerangka Hukum Pelaksanaan
RULB
Selain RUPS Tahunan, perusahaan harus melaksanakan Rapat Umum Luar Biasa (RUBL) untuk mengamandemen anggaran Dasar perusahaan. RUBL tersebut membutuhkan kuorum dua pertiga kehadiran, dan keputusan diambil melalui dua per tiga hak suara yang hadir. Jika terjadi konsolidasi, merger/akuisisi, pengambilalihan, kepailitan, atau pembubaran perusahaan, persetujuan RUPS sah apabila tiga perempat pemegang saham dengan hak suara hadir dalam RUPS dan jika suara setuju diberikan oleh tiga perempat dari yang hadir. Sebagai tambahan RUPS yang diwajibkan oleh Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal menyatakan bahwa BAPEPAM dapat mewajibkan perusahaan terbuka untuk memperoleh persetujuan pemegang saham independen sehubungan dengan transaksi yang mengundang benturan kepentingan. Dalam Peraturan Bapepam No. IX.E.1 yang baru direvisi. Benturan kepentingan didefinisikan sebagai perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direksi, komisaris, atau pemegang saham utama Perusahaan atau Pihak terafiliasi direksi, komisaris, atau pemegang saham utama. Dalam peraturan tersebut dirinci keterbukaan apa saja yang harus disampaikan kepada pemegang saham dalam bentuk sirkular sebelum RUPS. Sirkular tersebut meliputi penjelasan mengenai alasan dilakukannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan tersebut, penjelasan cara-cara alternatif untuk mencapai hasil yang sama tanpa mengandung benturan kepentingan, penilaian dari ahli yang independen atas proposal yang diajukan, serta informasi yang relevan lainnya. Transaksi yang mengandung benturan kepentiangan harus disetujui dalam RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen dan memperoleh suara pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen. Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka RUPS kedua dapat dilakukan. Pada RUPS kedua, pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen harus hadir dan lebih dari 50% pemegang saham independen yang hadir harus memberikan persetujuan. Jika kuorum tidak dipenuhi, RUPS ketiga dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari BAPEPAM dan persetujuan diberikan oleh lebih dari 50% pemegang saham independen yang hadir BAPEPAM juga telah mengeluarkan peraturan IX.E.2 yang mewajibkan dilaksanakannya RUBL untuk mendapat persetujuan pemegang saham atas transaksi material dan perubahan kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan terbuka. Kriteria untuk transaksi material adalah transaksi yang mencapai nilai 10% dari pendapatan dan 20% dari Ekuitas. Keterbukaan informasi harus diumumkan melalui surat kabar berperedaran nasional paling tidak 28 hari sebelum RUBL. Keterbukaan yang harus dilakukan antara lain adalah adanya evaluasi dari ahli yang independen tentang feasibility dan kewajaran transaksi, penjelasan mengenai adanya keahlian yang diperlukan untuk mengubah kegiatan usaha, penjelasan mengenai alasan dan justifikasi untuk mengubah kegiatan usaha, dan informasi material lainnya yang relevan. Pola umum peraturan perundangan di Indonesia dalam rangka RUPS adalah mewajibkan persetujuan pemegang saham melalui pengambilan suara untuk keputusan-keputusan tertentu, melaksanakan RUPS dengan pemberitahuan 28 hari sebelumnya, dan menyediakan informasi bagi pemegang saham dengan penjelasan yang lengkap tentang materi yang diajukan sebelum RUPS dilaksanakan. Kerangka hukum dalam rangka pelaksanaan RUPS tersebut telah memberikan perlindungan atas hak-hak pemegang saham, dengan demikian, telah konsisten dengan prinsip good corporate governance.
Keterbukaan dan Transparansi
Keterbukaan dan transparansi merupakan prinsip yang sangat mendasar di Pasar Modal. Perusahaan terbuka wajib menyampaikan laporan berkala dan informasi material lainnya kepada BAPEPAM dan publik. Dalam rangka melakukan penawaran umum, Emiten/Perusahaan Publik wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran yang terdiri dari dokumen-dokumen yang meliputi aspek keterbukaan, akuntansi, dan hukum. Hampir semua dokumen-dokumen tersebut, termasuk prospektus, merupakan dokumen public yang dapat diakses oleh semua Pihak. Dengan demikian pemodal dapat menganalisa keadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan sebelum mengambil keputusan investasinya. Kemudian setelah Emiten/Perusahaan Publik melakukan penawaran umum, maka mereka wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dalam dua jenis yaitu laporan berkala dan laporan insidentil. Kewajiban penyampaian laporan berkala meliputi laporan keuangan, baik tahunan dan tengah tahunan (peraturan X.K.2), laporan tahunan (peraturan VIII.G.2), dan laporan realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum (peraturan X.K.4). Sedangkan laporan insidentil meliputi kewajiban keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada public (peraturan X.K.1) dan keterbukaan dalam hal kepailitan (peraturan X.K.5). Prinsip keterbukaan dan transparansi juga menekankan bahwa informasi yang diungkapkan perusahaan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. Sekarang bagaimana dengan kualitas standar akuntansi yang digunakan di Pasar Modal? Sesuai dengan ketentuan pasal 69 ayat 1 UU Pasar Modal, laporan keuangan Emiten/Perusahaan Publik wajib disusun dengan menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum yaitu Pernyataan standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kemudian sesuai dengan ketentuan pasal 69 ayat 2 UU Pasar Modal, Bapepam berwenang menetapkan ketentuan. Akuntansi di Pasar Modal dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan konsultan Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan bahwa standar akuntansi yang berlaku di Pasar Modal Indonesia, yaitu PSAK dan peraturan Bapepam di bidang akuntansi, secara signifikan telah sesuai dengan standar akuntansi internasional atau International Accounting Standards (IAS).
AKUNTABILITAS DEWAN
KOMISARIS
Sesuai dengan ketentuan pasal 97 Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas), komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat kepada Direksi. Kemudian dalam pasal 98 ayat 1 UU Perseroan Terbatas dikatakan bahwa komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Yang selama ini terjadi, khususnya di Indonesia, adalah bahwa dewan komisaris (atau board of directors dalam system common law) lebih merupakan organ perusahaan yang berlaku pasif. Dewan komisaris pada umumnya tidak menjalankan fungsi pengawasannya terhadap direksi. Fenomena seperti ini bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan ketika suatu perusahaan masih merupakan perusahaan tertutup, namun akan lain halnya apabila perusahaan tersebut telah go public. Hal ini dikarenakan sikap pasif atau bahkan dapat dikatakan sikap yang mendukung setiap kebijakan yang diambil direksi tersebut pada gilirannya akan dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Gambaran ini tidaklah terlalu mengherankan mengingat struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia masih sangat terkonsentrasi, atau dengan kata lain dikendalikan oleh satu keluarga atau kelompok. Jabatan komisaris diberikan kepada anggota keluarga atau orang orang kepercayaan mereka sebagai jabatan kehormatan atau penghargaan yang mensyaratkan adanya loyalitas yang imbal balik. Atau jabatan komisaris diberikan kepada pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang masih mempunyai pengaruh sebagai upaya untuk meningkatkan bargaining power perusahaan di kalangan pemerintah. Dengan demikian, pemilihan komisaris perusahaan di Indonesia lebih berdasarkan kedudukan seseorang dan kurang mempertimbangkan integritas serta kompetensi orang tersebut. Pada akhirnya, kualitas dewan komisaris perusahaan-perusahaan Indonesia ditinjau dari independensinya terhadap direksi atau pemegang saham pengendali patut dipertanyakan.
Keberadaan Komisaris Independen
Di Amerika Serikat, aktivitas pergerakan corporate governance telah dimulai pada tahun 1930-an sebagai reaksi atas terjadinya stock market crash pada tahun 1929. Namun baru pada era 1980-an perilaku investor Amerika Serikat menunjukkan aktivisme corporate governance yang signifikan. Dituntut oleh kewajiban untuk melaksanakan halnya dalam pengambilan suara (voting) sesuai dengan ketentuan Employment Retirement Securities Act (ERISA) para investor institusional seperti Calfornia Public Employees Retirement System (CalPERS) dan New York State and Local Employees’ Retirement System mulai menggunakan hak suara mereka dan mengusulkan diterapkannya good corporate governance. Salah satu aspek yang mereka usulkan adalah bahwa bahwa board of directors harus bersikap independen dari manajemen atau pemegang saham mayoritas dan harus bertanggungjawab terhadap seluruh pemegang saham. Sejak itu, keberadaan independent non-executive directors mulai diperkenalkan di perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan jumlahnya semakin meningkat dewasa ini.
B. Peran dan Fungsi Komite Audit
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa peran pengawasan sekaligus akuntabilitas dewan komisaris perusahaan Indonesia pada umumnya belum memadai. Dengan keanggotaan dewan komisaris yang selama ini dipilih lebih berdasarkan kedudukan dan kekerabatan menyebabkan mekanisme check and balance terhadap direksi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan banyak direksi perusahaan menjalankan kegiatan operasional usahanya secara ekspansif tanpa mempertimbangkan resiko yang mungkin timbul dan mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas. Fungsi audit internal dan auditor eksternal belum berjalan optimal mengingat secara struktural, auditor tersebut berada dalam posisi yang sulit untuk bersikap independen dan objektif. adahal independensi merupakan suatu sikap mental yang harusnya ada dalam setiap auditor. Pada masa sebelum krisis, banyak perusahaan memperoleh pembiayaan asing yang murah dalam jangka pendek tanpa melakukan lindung nilai. Perolehan pembiayaan asing dalam jangka pendek tersebut dibarengi dengan mismacth dalam penggunaannya. Perusahaan juga banyak melakukan transaksi dengan pihak hubungan istimewa tanpa pengungkapan yangmemadai. Kemudian perusahaan juga ditengarai kerap melakukan rekayasa pendapatan (managed earning) dengan cara mendistorsi kegiatan operasional perusahaan yang sebenarnya guna memenuhi target proyeksi perusahaan. Beberapa contoh pengelolaan perusahaan tersebut sekaligus mengungkapkan adanya indikasi penyimpangan akuntansi atau lazim dikenal dengan accounting irregularities. Untuk itu, selain mengangkat komisaris independen dan membentuk komite-komite seperti komite remunerasi dan komite pemilihan (nominating committee),sudah saatnya akuntabilitas dewan komisaris perlu ditingkatkan dengan membentuk komite audit., Adapaun tugas komite audit adalah memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi. Untuk itu, komite audit harus melakukan penelahaan atas informasi keuangan yang akandikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, atau informasi keuangan lainnya. Komite juga harus menalaah ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha perusahaan. Komite audit juga harus melakukan penelaahan atas kecakupan pemeriksaan yang dilakukan oleh eksternal auditor untuk memastikan semua resiko yang penting telah dipertimbangkan. Kemudian, agar tugas dan fungsi komite audit dalam membantu dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, maka anggota komite audit wajib mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan. Ketentuan mengenai keberadaan komite audit juga diatur dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKCG dan peraturan pencatatan BEJ. Di dalam Code tersebutdinyatakan bahwa dewan komisaris dapat membentuk komite audit yang terdiri dari anggota komisaris, eksternal auditor, dan internal auditor. Komite audit harus bersikap independen terhadap direksi dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada dewan komisaris. Adapun kewajiban komite audit meliputi:
a. mempromosikan disiplin perusahaan dan lingkungan yang terkendali guna menghindari terjadinya kecurangan keuangan danpenyimpangan;
b. meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dan keterbukaan;
c. menelaah ruang lingkup, akurasi, dan efektivitas biaya eksternal audit;
d. menelaah independensi dan objektivitas eksternal auditor.