Anda Tidak Hancur Apabila Anda Kalah
Anda Hancur Apabila Anda Berhenti Berusaha
( William V. Crouch )

Jumat, 11 Desember 2009

IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK PERUSAHAAN PUBLIK INDONESIA


IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK PERUSAHAAN PUBLIK INDONESIA



Prinsip-Prinsip Corporate Governance

Pada April 1998, (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai Negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua Negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip good corporate governance yang dikembangkan OECD meliputi 5 hal sebagai berikut :

1.    Perlindungan Terhadap Pemegang Saham.

Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak-hak dasar pemegang saham, yaitu hak untuk (1) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (2) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (4) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS, (5) memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta (6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.


2.    Persamaan Perlakuan terhadap Pemegang Saham

Kerangka corporate governance harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliku, kesempatan untuk mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkanadanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktek-praktek insider trading dan self dealing, dan mengharuskan anggota dewan komisaris untuk melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).

1.    Peranan Stakeholder Terkait dengan perusahaan

2.   Keterbukaan dan Transparansi

3.   Akuntabilitas Dewan Komisaris

Perlindungan Hak Pemegang Saham -Tinjauan Terhadap Pelaksanaan

(RUPS)

A. Kerangka Hukum Pelaksanaan

RUPS Tahunan

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Tebatas dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, setiap perusahaan wajib mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan dalam jangka waktu enam bulan setelah tutup tahun buku. Dalam rangka RUPS ini, direksi wajib menyusunan laporan yang meliputi paling tidak laporan keuangan tahunan terakhir, informasi tentang kegiatan usaha dan perubahannya, problem yang dihadapi, dan hasil-hasil yang telah dicapai. Laporan tersebut juga mengungkapkan nama Direksi dan Komisaris berikut remunerasi masing-masing direksi atau komisaris. Untuk perusahaan terbuka, laporan keuangan harus diperiksa (diaudit) oleh Akuntan Pulik dan dipublikasikan dalam dua surat kabar berperedaran nasional. Jika dokumen tersebut tidak benar atau menyesatkan, para direktur dan komisaris secara pribadi dapat bertanggung jawab kepada setiap pihak yang menderita kerugian. BAPEPAM juga telah menetapkan peraturan VIII.G.2 yang merinci hal-hal apa saja yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan terbuka. Laporan tahunan harus mencakup antara lain ikhtiar data keuangan penting perusahaan untuk periode 5 (lima) tahun; analisis dan pembahasan manajemen; penjelasan mengenai nvestasi/divestasi, ekspansi, transaksi yang mengundang benturan kepentingan, dan transaksi dengan pihak afiliasi; serta Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit. Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Pasar Modal juga mengatur mengenai tata cara pelaksanaan RUPS. Pemanggilan pemegang saham dilakukan oleh direksi 14 hari sebelum RUPS dengan menggunakan surat tercatat, dan untuk perusahaan terbuka, menggunakan pemberitahuan di dua surat kabar paling tidak 28 hari sebelum RUPS.  Pemberitahuan atau pemanggilantersebut harus mencakup waktu, tempat, dan agenda RUPS. Kuorum untuk RUPS adalah separuh dari hak suara pada RUPS pertama dan sepertiga dari hak suara pada RUPS yang kedua. Keputusan persetujuan dalam RUPS diambil musyawarah mufakat. Jika persetujuan melalui musyawarah tidak tercapai, pengambilan suara dengan sistem simple majority harus dilakukan.



B. Kerangka Hukum Pelaksanaan

RULB

Selain RUPS Tahunan, perusahaan harus melaksanakan Rapat Umum Luar Biasa (RUBL) untuk mengamandemen anggaran Dasar perusahaan. RUBL tersebut membutuhkan kuorum dua pertiga kehadiran, dan keputusan diambil melalui dua per tiga hak suara yang hadir. Jika terjadi konsolidasi, merger/akuisisi, pengambilalihan, kepailitan, atau pembubaran perusahaan, persetujuan RUPS sah apabila tiga perempat pemegang saham dengan hak suara hadir dalam RUPS dan jika suara setuju diberikan oleh tiga perempat dari yang hadir. Sebagai tambahan RUPS yang diwajibkan oleh Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal menyatakan bahwa BAPEPAM dapat mewajibkan perusahaan terbuka untuk memperoleh persetujuan pemegang saham independen sehubungan dengan transaksi yang mengundang benturan kepentingan. Dalam Peraturan Bapepam No. IX.E.1 yang baru direvisi. Benturan kepentingan didefinisikan sebagai perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi direksi, komisaris, atau pemegang saham utama Perusahaan atau Pihak terafiliasi direksi, komisaris, atau pemegang saham utama. Dalam peraturan tersebut dirinci keterbukaan apa saja yang harus disampaikan kepada pemegang saham dalam bentuk sirkular sebelum RUPS. Sirkular tersebut meliputi penjelasan mengenai alasan dilakukannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan tersebut, penjelasan cara-cara alternatif untuk mencapai hasil yang sama tanpa mengandung benturan kepentingan, penilaian dari ahli yang independen atas proposal yang diajukan, serta informasi yang relevan lainnya. Transaksi yang mengandung benturan kepentiangan harus disetujui dalam RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen dan memperoleh suara pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen. Jika ketentuan ini tidak dipenuhi, maka RUPS kedua dapat dilakukan. Pada RUPS kedua, pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 50% pemegang saham independen harus hadir dan lebih dari 50% pemegang saham independen yang hadir harus memberikan persetujuan. Jika kuorum tidak dipenuhi, RUPS ketiga dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari BAPEPAM dan persetujuan diberikan oleh lebih dari 50% pemegang saham independen yang hadir BAPEPAM juga telah mengeluarkan peraturan IX.E.2 yang mewajibkan dilaksanakannya RUBL untuk mendapat persetujuan pemegang saham atas transaksi material dan perubahan kegiatan usaha yang dilakukan perusahaan terbuka. Kriteria untuk transaksi material adalah transaksi yang mencapai nilai 10% dari pendapatan dan 20% dari Ekuitas. Keterbukaan informasi harus diumumkan melalui surat kabar berperedaran nasional paling tidak 28 hari sebelum RUBL. Keterbukaan yang harus dilakukan antara lain adalah adanya evaluasi dari ahli yang independen tentang feasibility dan kewajaran transaksi, penjelasan mengenai adanya keahlian yang diperlukan untuk mengubah kegiatan usaha, penjelasan mengenai alasan dan justifikasi untuk mengubah kegiatan usaha, dan informasi material lainnya yang relevan. Pola umum peraturan perundangan di Indonesia dalam rangka RUPS adalah mewajibkan persetujuan pemegang saham melalui pengambilan suara untuk keputusan-keputusan tertentu, melaksanakan RUPS dengan pemberitahuan 28 hari sebelumnya, dan menyediakan informasi bagi pemegang saham dengan penjelasan yang lengkap tentang materi yang diajukan sebelum RUPS dilaksanakan. Kerangka hukum dalam rangka pelaksanaan RUPS tersebut telah memberikan perlindungan atas hak-hak pemegang saham, dengan demikian, telah konsisten dengan prinsip good corporate governance.  

Keterbukaan dan Transparansi

Keterbukaan dan transparansi merupakan prinsip yang sangat mendasar di Pasar Modal. Perusahaan terbuka wajib menyampaikan laporan berkala dan informasi material lainnya kepada BAPEPAM dan publik. Dalam rangka melakukan penawaran umum, Emiten/Perusahaan Publik wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran yang terdiri dari dokumen-dokumen yang meliputi aspek keterbukaan, akuntansi, dan hukum. Hampir semua dokumen-dokumen tersebut, termasuk prospektus, merupakan dokumen public yang dapat diakses oleh semua Pihak. Dengan demikian pemodal dapat menganalisa keadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan sebelum mengambil keputusan investasinya. Kemudian setelah Emiten/Perusahaan Publik melakukan penawaran umum, maka mereka wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dalam dua jenis yaitu laporan berkala dan laporan insidentil. Kewajiban penyampaian laporan berkala meliputi laporan keuangan, baik tahunan dan tengah tahunan (peraturan X.K.2), laporan tahunan (peraturan VIII.G.2), dan laporan realisasi penggunaan dana hasil penawaran umum (peraturan X.K.4). Sedangkan laporan insidentil meliputi kewajiban keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada public (peraturan X.K.1) dan keterbukaan dalam hal kepailitan (peraturan X.K.5). Prinsip keterbukaan dan transparansi juga menekankan bahwa informasi yang diungkapkan perusahaan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. Sekarang bagaimana dengan kualitas standar akuntansi yang digunakan di Pasar Modal? Sesuai dengan ketentuan pasal 69 ayat 1 UU Pasar Modal, laporan keuangan Emiten/Perusahaan Publik wajib disusun dengan menggunakan prinsip akuntansi yang berlaku umum yaitu Pernyataan standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kemudian sesuai dengan ketentuan pasal 69 ayat 2 UU Pasar Modal, Bapepam berwenang menetapkan ketentuan. Akuntansi di Pasar Modal dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan konsultan Asian Development Bank (ADB) menyimpulkan bahwa standar akuntansi yang berlaku di Pasar Modal Indonesia, yaitu PSAK dan peraturan Bapepam di bidang akuntansi, secara signifikan telah sesuai dengan standar akuntansi internasional atau International Accounting Standards (IAS).

AKUNTABILITAS DEWAN

KOMISARIS

Sesuai dengan ketentuan pasal 97 Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas), komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat kepada Direksi. Kemudian dalam pasal 98 ayat 1 UU Perseroan Terbatas dikatakan bahwa komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Yang selama ini terjadi, khususnya di Indonesia, adalah bahwa dewan komisaris (atau board of directors dalam system common law) lebih merupakan organ perusahaan yang berlaku pasif. Dewan komisaris pada umumnya tidak menjalankan fungsi pengawasannya terhadap direksi. Fenomena seperti ini bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan ketika suatu perusahaan masih merupakan perusahaan tertutup, namun akan lain halnya apabila perusahaan tersebut telah go public. Hal ini dikarenakan sikap pasif atau bahkan dapat dikatakan sikap yang mendukung setiap kebijakan yang diambil direksi tersebut pada gilirannya akan dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Gambaran ini tidaklah terlalu mengherankan mengingat struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia masih sangat terkonsentrasi, atau dengan kata lain dikendalikan oleh satu keluarga atau kelompok. Jabatan komisaris diberikan kepada anggota keluarga atau orang orang kepercayaan mereka sebagai jabatan kehormatan atau penghargaan yang mensyaratkan adanya loyalitas yang imbal balik. Atau jabatan komisaris diberikan kepada pejabat atau mantan pejabat pemerintah yang masih mempunyai pengaruh sebagai upaya untuk meningkatkan bargaining power perusahaan di kalangan pemerintah. Dengan demikian, pemilihan komisaris perusahaan di Indonesia lebih berdasarkan kedudukan seseorang dan kurang mempertimbangkan integritas serta kompetensi orang tersebut. Pada akhirnya, kualitas dewan komisaris perusahaan-perusahaan Indonesia ditinjau dari independensinya terhadap direksi atau pemegang saham pengendali patut dipertanyakan.

Keberadaan Komisaris Independen

Di Amerika Serikat, aktivitas pergerakan corporate governance telah dimulai pada tahun 1930-an sebagai reaksi atas terjadinya stock market crash pada tahun 1929. Namun baru pada era 1980-an perilaku investor Amerika Serikat menunjukkan aktivisme corporate governance yang signifikan. Dituntut oleh kewajiban untuk melaksanakan halnya dalam pengambilan suara (voting) sesuai dengan ketentuan Employment Retirement Securities Act (ERISA) para investor institusional seperti Calfornia Public Employees Retirement System (CalPERS) dan New York State and Local Employees’ Retirement System mulai menggunakan hak suara mereka dan mengusulkan diterapkannya good corporate governance. Salah satu aspek yang mereka usulkan adalah bahwa bahwa board of directors harus bersikap independen dari manajemen atau pemegang saham mayoritas dan harus bertanggungjawab terhadap seluruh pemegang saham. Sejak itu, keberadaan independent non-executive directors mulai diperkenalkan di perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan jumlahnya semakin meningkat dewasa ini.

B. Peran dan Fungsi Komite Audit

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa peran pengawasan sekaligus akuntabilitas dewan komisaris perusahaan Indonesia pada umumnya belum memadai. Dengan keanggotaan dewan komisaris yang selama ini dipilih lebih berdasarkan kedudukan dan kekerabatan menyebabkan mekanisme check and balance terhadap direksi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini mengakibatkan banyak direksi perusahaan menjalankan kegiatan operasional usahanya secara ekspansif tanpa mempertimbangkan resiko yang mungkin timbul dan mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas. Fungsi audit internal dan auditor eksternal belum berjalan optimal mengingat secara struktural, auditor tersebut berada dalam posisi yang sulit untuk bersikap independen dan objektif. adahal independensi merupakan suatu sikap mental yang harusnya ada dalam setiap auditor. Pada masa sebelum krisis, banyak perusahaan memperoleh pembiayaan asing yang murah dalam jangka pendek tanpa melakukan lindung nilai. Perolehan pembiayaan asing dalam jangka pendek tersebut dibarengi dengan mismacth dalam penggunaannya. Perusahaan juga banyak melakukan transaksi dengan pihak hubungan istimewa tanpa pengungkapan yangmemadai. Kemudian perusahaan juga ditengarai kerap melakukan rekayasa pendapatan (managed earning) dengan cara mendistorsi kegiatan operasional perusahaan yang sebenarnya guna memenuhi target proyeksi perusahaan. Beberapa contoh pengelolaan perusahaan tersebut sekaligus mengungkapkan adanya indikasi penyimpangan akuntansi atau lazim dikenal dengan accounting irregularities. Untuk itu, selain mengangkat komisaris independen dan membentuk komite-komite seperti komite remunerasi dan komite pemilihan (nominating committee),sudah saatnya akuntabilitas dewan komisaris perlu ditingkatkan dengan membentuk komite audit., Adapaun tugas komite audit adalah memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi. Untuk itu, komite audit harus melakukan penelahaan atas informasi keuangan yang akandikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, atau informasi keuangan lainnya. Komite juga harus menalaah ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha perusahaan. Komite audit juga harus melakukan penelaahan atas kecakupan pemeriksaan yang dilakukan oleh eksternal auditor untuk memastikan semua resiko yang penting telah dipertimbangkan. Kemudian, agar tugas dan fungsi komite audit dalam membantu dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, maka anggota komite audit wajib mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan. Ketentuan mengenai keberadaan komite audit juga diatur dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKCG dan peraturan pencatatan BEJ. Di dalam Code tersebutdinyatakan bahwa dewan komisaris dapat membentuk komite audit yang terdiri dari anggota komisaris, eksternal auditor, dan internal auditor. Komite audit harus bersikap independen terhadap direksi dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada dewan komisaris. Adapun kewajiban komite audit meliputi:

a. mempromosikan disiplin perusahaan dan lingkungan yang terkendali guna   menghindari terjadinya kecurangan keuangan danpenyimpangan;

b. meningkatkan kualitas pelaporan keuangan dan keterbukaan;

c. menelaah ruang lingkup, akurasi, dan efektivitas biaya eksternal audit;

d. menelaah independensi dan objektivitas eksternal auditor.


SERTIFIKAT KURSUS


Rabu, 09 Desember 2009

Pemilu Jadi Pendorong Utama Perekonomian RI Selama 2009


Pemilu Jadi Pendorong Utama Perekonomian RI Selama 2009


Jakarta - Pertumbuhan ekonomi 2009 bisa positif karena ditopang dari uang yang masuk melalui Pemilu. Sementara turunnya ekspor tidak memberikan beban karena selama ini kontribusi ekspor Indonesia cukup rendah."Ekonomi bisa tumbuh sebesar 4,3% hal itu dikarenakan Indonesia tidak terlalu terkena beban oleh ekspor," jelas Direktur Utama Bank Mandiri sekaligus Ketua Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Agus Martowardojo dalam Forum Dialog Bersama Otoritas dan Pelaku Ekonomi di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu 09/12/2009). Sementara dari sektor riil tahun ini tidak memberikan kontribusi yang banyak bagi perekonomian. Lesunya sektor riil itu pula yang menyebabkan permintaan kredit perbankan 2009 sulit tumbuh."Faktor dominan yakni dorongan uang masuk ke perekonomian karena adanya Pemilu. Dan yang penting juga membuat ekonomi positif dan aman hingga mencapai 4,3% karena perbankan yang kuat. Bukan dari sektor riil," jelas Agus.Agus mengharapkan pada tahun 2010, ketika sudah tidak ada lagi Pemilu dan dukungan perbankan yang sehat maka sektor riil bisa lebih bergerak dan ekspansif sehingga dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Ia menjelaskan, untuk pertumbuhan optimal 6,3%-6,9% sepanjang tahun 2009-2014, dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 2910 triliun. Dari jumlah tersebut, perbankan bisa memasok sekitar Rp 959 triliun.Sementara fokus utama pembangunan di Indonesia yang seharusnya menjadi prioritas kerja pemerintah, menurut Agus adalah bidang infrastruktur, ketahanan pangan, energi, transportasi dan revitalisasi industri maka sektor riil harus lebih meningkatkan kembali kinerjanya.Perbankan, lanjut Agus, bisa mengoptimalkan perannya dengan menitikberatkan pengembangan dua aspek. "Yakni pertama intermediasi keuangan pada margin yang wajar dan yang kedua adalah penerapan prudential banking dan tata kelola risiko yang baik untuk menjaga kepercayaan stake holder," tuturnya.Sementara itu, Wakil Ketua Kadin bidang UMKM Sandiaga S Uno menuturkan dunia sektor riil masih terhambat beberapa bidang salah satunya adalah infarstruktur."Transportasi darat di Indonesia hanya memiliki 394.000 km jalan raya dan dibandingkan dengan size-nya, Indonesia adalah yang terpendek jalan rayanya se-Asia," katanya.

Polemik Century Bisa Perburuk Peringkat Investasi RI


Polemik Century Bisa Perburuk Peringkat Investasi RI


Jakarta - Polemik seputar kasus bailout PT Bank Century Tbk (sekarang Bank Mutiara) bisa makin memperburuk rating atau peringkat investasi di Indonesia. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sandiaga Uno mengatakan saat ini saja, lembaga pemeringkat Moody's menetapkan peringkat investasi indonesia di tingkat Ba2, atau termasuk non investment grade ."Peringkat itu tergolong buruk karena semua negara G-20, termasuk Malaysia dan Singapura, masuk investment grade ," ujarnya di sela acara Forum Dialog Bersama Otoritas dan Pelaku Ekonomi di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (9/12/2009).Menurut Sandiaga,dengan peringkat itu, berarti Indonesia berada setingkat atau bisa dibilang sejajar dengan negara dengan tingkat kondisi keamanan rendah seperti Nepal, Pakistan, dan Filipina. "Padahal seharusnya kita bisa jauh lebih bagus dari itu," tegasnya.Di tempat yang sama Direktur Utama PT Bank Mandiri Agus Martowardojo menegaskan Indonesia bisa jatuh terpuruk akibat kasus Bank Century. Pasalnya, banyak kalangan berpendapat akibat kasus Century dapat membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Presiden RI Boediono digulingkan dari posisinya saat ini."Investor di dunia tidak melihat kasus Century di Indonesia, tetapi jika kasus Century bisa membuat Menteri Keuangan dan Wakil Presiden dijatuhkan maka hancur kita," ujar Agus.Agus menegaskan Sri Mulyani dan Boediono dinilai yang sangat baik dalam menjaga fiskal di mata dunia. Maka, jika kedua ikon tersebut dijatuhkan, kepercayaan para investor akan hilang.Saat ini, lanjut Agus, Indonesia harus percaya bisa bertahan dan bisa menjelaskan kebenararan di balik bailout Century. "Di dunia, investor itu cenderung melihat privatisasi, lalu kinerja BUMN publik, RUPS-RUPS, succession planning , kemudian bagaimana dividen policy BUMN-BUMN, dan pengelolaan management," katanya.




Minggu, 29 November 2009

Saat Bahasa Menjadi Sebuah Kendala


Asian Parliamentary Assembly
Saat Bahasa Menjadi Sebuah Kendala


Bandung - Bangsa Asia punya bahasa lebih beragam dibandingkan misalnya di benua Eropa dan Amerika. Sidang Parliamentary Assembly (APA) pun berlangsung penuh warna bahasa. Sebagai sebuah forum internasional, bahasa Inggris tentu menjadi bahasa andalan untuk berkomunikasi di luar acara sidang. Namun justru dalam berbagai sidang pleno resmi, banyak delegasi yang menggunakan bahasa nasional.Untuk itu panitia APA selalu menyediakan penerjemah di dalam sidang pleno. Peserta sidang tinggal mendengarkan melalui earphone, bahasa apa yang dipahaminya. Resminya ada 7 bahasa yang dipakai dalam sidang APA, yaitu bahasa Inggris, Arab, Indonesia, Korea, Mandarin, Parsi dan Rusia.Meski demikian, tetap saja masih ada kendala bahasa. Misalnya saja delegasi Kamboja secara mendadak minta disediakan penerjemah. Kalau sudah begini, yang direpotkan adalah operator penerjemah."Kamboja memaksa meminta interpreter bahasa Kamboja, tapi, ya, susahlah kalau mendadak seperti itu," kata seorang petugas interpreter yang enggan disebut namanya di Hotel Savoy Homann, Bandung, Rabu (9/12/2009).Padahal menjadi interpreter cukup rumit tugasnya. Dalam sebuah persidangan, para delegasi bisa berbicara dengan bahasa masing-masing. Para penerjemah pun berjibaku menerjemahkannya untuk delegasi lain.Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) Hidayat Nur Wahid pernah pula diminta delegasi Bangladesh agar apa menyediakan bahasa Bengali. Permintaan ini disampaikan saat sidang Dewan Eksekutif Senin (7/12) sebelum pembukaan APA. Permintaan ini ditampung, namun karena mendadak sulit juga untuk dikabulkan. Bagaimana dengan delegasi Indonesia? Untuk berdialog, banyak juga yang cas cis cs berbahasa Inggris. Hidayat Nur Wahid pun dikenal sangat fasih berbahasa Arab. Namun untuk memberi pernyataan resmi dalam sidang pleno, mereka berbahasa Indonesia."Ada undang-undangnya kalau dalam forum resmi kita justru harus berbahasa Indonesia," kata Ketua DPR Marzuki Alie di sela-sela sidang APA.UU yang dimaksud adalah UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Walhasil, Marzuki pun berbahasa Indonesia dalam pidato pembukaan sidang APA di Gedung Merdeka, Bandung pada Selasa (8/12) lalu. Presiden SBY dalam kesempatan yang sama pun menyampaikan sambutannya dengan bahasa Indonesia.



Minggu, 22 November 2009

Pertarungan Trust Bank Century


Pertarungan Trust Bank Century


KASUS Bank Century bukanlah sekadar kasus perbankan ataupun pengingkaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Namun, kasus ini telah memasuki ranah politik, dengan terbangunnya perdebatan antarelite politik mengenai layak tidaknya bank tersebut mendapatkan bantuan. Persoalan ini juga kembali mencederai kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan kita beserta dengan para pelakunya. Bantuan bailout dan sejumlah dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kembali diperdebatkan. Dua pertanyaan besar yang kemudian muncul, yaitu 1) apakah Bank Century masih layak untuk tetap sustain?, 2) jika kasus obligasi ‘bodong’ tidak mencuat ke permukaan apakah Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan bahwa bank tersebut tidak sehat? Kekhawatiran nasabah Bank Century ternyata beralasan dan hampir terbukti. Pasalnya berdasarkan data LPS pada Juli 2008, Bank Century sudah mengalami kesulitan likuiditas dan sejumlah nasabah besar pun menarik dana pihak ketiga (DPK) miliknya. Hal itu berlanjut dengan seringnya bank ini melanggar ketentuan giro wajib minimum (GWM) yang harus dipenuhinya. Kondisi itu diperparah dengan keresahan dan ketidakpercayaan nasabahnya yang kemudian dengan tidak mudah menarik dana untuk menghindari kemungkinan buruk, yaitu kehilangan uang. Data LPS juga menyebutkan bahwa pada November-Desember 2008 terjadi penarikan DPK oleh nasabah sebesar Rp5,67 triliun. Padahal hasil audit akuntan publik Aryanto Yusuf dan Mawar atas laporan keuangan Bank Century, DPK yang ada saat itu sebesar Rp9,635 triliun, artinya Bank Century kehilangan lebih dari setengah DPK hanya dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan. Sejak terbitnya Paket Oktober tahun 1988 atau dikenal dengan sebutan Pakto-88 yang meliberalisasi industri perbankan Indonesia, pengawasan terhadap perbankan semakin sulit dilakukan. Banyak pengusaha yang sama sekali tidak memiliki latar belakang perbankan mendirikan bank dengan tujuan memperoleh dana masyarakat yang dipercayakan untuk membiayai anak perusahaannya. Karena hanya dengan setoran Rp10 miliar, seseorang dapat mendirikan bank. Ketika itu, industri perbankan mudah untuk dimasuki sehingga sekitar 160 bank lahir pada saat itu, tetapi seolah tak terpikirkan betapa sulitnya untuk dapat keluar dari industri ini. Hal itu juga yang kemudian naik ke permukaan ketika krisis moneter 1998 dan kemudian menimbulkan kasus BLBI yang hingga saat ini kasusnya masih belum selesai. Hal itu seharusnya menjadi pelajaran yang sangat mahal, yaitu Rp144 triliun (merupakan dana BLBI yang sampai saat ini menjadi kontroversi) bahwa betapa pentingnya pengawasan terhadap bank sehingga kasus seperti Bank Century ini dapat dihindari.

Pertanyaan mengenai kelayakan Bank Century untuk tetap sustain, akan menjadi pertanyaan yang sulit dijawab pemerintah. Walau bagaimana pun, permintaan pemerintah kepada LPS untuk melakukan bailout atas Bank Century mengindikasikan bahwa pemerintah beranggapan Bank Century layak untuk tetap sustain, tapi melihat efek jangka panjangnya, hal itu memberikan contoh yang tidak baik terhadap dunia perbankan ke depan. Atau mungkin pemerintah sudah menganggap ini sebagai masalah sistemik yang akan memberi efek domino kepada bank-bank lainnya. Kasus Bank Century memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perbankan sehingga terjadi sebuah bank menjual reksa dana tanpa mempunyai izin sebagai agen penjual reksa dana (APERD) dan menjual obligasi tanpa nilai. Di manakah tanggung jawab Bapepam sebagai badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan dalam hal ini serta BI sebagai pengatur dan pengawas bank? Sebelumnya kasus pengelapan juga terjadi di Bank Global. Saat itu, terjadi penggelapan oleh oknum pegawai bank tersebut terhadap dana nasabah yang seharusnya dikonversi dari deposito ke investasi reksa dana. Jika dikaitkan dengan penerapan tata kelola pemerintahan maupun perusahaan yang baik, kedua kasus tersebut merupakan ‘pelecehan’ terhadap lembaga pengawas keuangan seperti Bapepam-LK dan Bank Indonesia, tetapi yang terjadi seolah-olah saling melempar bola panas antarinstitusi pengawas keuangan kita. Bagi organisasi perbankan kita, hal itu juga merupakan suatu tamparan bahwa meskipun secara umum bank-bank di Indonesia sudah memperbaiki dirinya seperti penerapan good corporate governance maupun risiko manajemen, tapi masih ada pelanggaran beberapa hal yang menyangkut etika profesi. Secara umum kedua kasus tersebut memang harus dilihat dari dua sudut baik peraturan perbankan maupun tindakan kriminal. Peraturan perbankan yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dalam bentuk aturannya saja, tetapi juga implementasiannya. Hal itulah yang perlu dijawab Bapepam-LK dan BI dalam fenomena kedua kasus tersebut. Namun, jika yang terjadi adalah indikasi yang kedua, yaitu adanya tindakan kriminal, seketat apa pun peraturan diterapkan, tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin pembobolan, penipuan, dan sebagainya dalam perbankan dapat dihapuskan. Untuk memperkecil peluang kejadian serupa dapat terulang kembali, perlu adanya antisipasi khusus dari Bapepam-LK dan BI terutama mengenai kepemilikan saham suatu bank serta kaitan antara bank dan suatu grup usaha karena dikhawatirkan dana yang dikumpulkan dari masyarakat hanya disalurkan kepada perusahaan dalam grupnya bahkan tanpa memperhatikan aspek dari kelayakan usahanya dan juga berpotensi terjadi penggelembungan (mark up) padahal pengelola keuangan harus terbebas dari berbagai konflik kepentingan. Selain itu, lemahnya sistem hukum yang ada akan membuat para ‘bankir nakal’ untuk berhitung untung-rugi melakukan pembobolan atau penipuan perbankan. Hal itulah yang harus diminimalisasi dengan penegakan hukum kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Kasus-kasus tersebut menjadi salah satu penghambat dalam pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini. Hal fundamental yang sering terlupakan dalam upaya penguatan kembali ekonomi kita, yaitu: kejujuran dan transparansi yang diikat elemen kepercayaan (trust). Akibatnya, jangankan mampu untuk mengatasi masalah dan menguatkan kembali perekonomian terutama pasar keuangan, melihat apa yang tengah berlangsung pun, pemerintah sepertinya belum memiliki informasi akurat. Dengan demikian, wajar jika masyarakat sebagai pelaku ekonomi meragukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah saat ini dan cenderung berpikiran logis untuk mengamankan dana yang mereka miliki. Situasi ini yang kemudian disebut pemerintah sebagai kepanikan. Pemerintah harus becermin lebih dalam dan mengajarkan serta memberikan contoh mengenai kejujuran dan transparansi sehingga dapat terus memelihara kepercayaan kita semua.




Kamis, 19 November 2009

MASALAH - MASALAH BANK CENTURY


Apakah BI Penyebab Terjadinya Masalah Bank Century dan DPR tuding BI penyebab jatuh nya bank Century 


Pada tulisan sebelumnya berjudul “APAKAH Benar BANK Century  Merupakan Bank gagal yang berpontensi sistemik"" saya mengajak berdiskusi tentang ketepatan alasan penyelamatan Bank Century dan memperkenalkan pendekatan analisis cost, benefit dan risiko yang sistematis dan menyeluruh untuk benar-benar dapat memutuskan apakah Bank Century sebaiknya diselamatkan atau ditutup saja. Keputusan seorang profesional harus selalu bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan.
Mari kita berpindah pokok bahasan
Sekarang mari kita beralih ke isu tentang kenapa Bank Century sampai mengalami kondisi parah sampai-sampai harus diselamatkan. Penyebab utama yang paling jelas adalah adanya tindakan kriminal perampokan Bank Century oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular yang saat ini sedang disidangkan. Untuk hal ini, ada baiknya kita mengikuti persidangannya. Sebab jika mengingat prestasi pengadilan umum kita selama ini, saya ragu Robert Tantular bisa mendapatkan hukuman yang setimpal. Dan juga ada hal lain yang harus kita awasi terus, yaitu penyitaan aset Robert Tantular, untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar kembali ke negara. Ini PR buat teman-teman Kompasianer. Dari penyebab utama tersebut lalu muncul lah pertanyaan-pertanyaan logis seperti berikut : Kenapa BI bisa tidak tahu ?, Memangnya kasus Bank Century langsung terjadi seperti sekarang tanpa ada tahapan-tahapan eskalasi masalahnya sehingga BI tidak bisa mengetahuinya ? atau pertanyaan yang mungkin lebih sadis lagi adalah : Memangnya kerja BI selama ini bagaimana ya ? Dari pendapat-pendapat yang berkembang, ada 2 isu yang menarik untuk diperhatikan tentang penyebab tidak bisa dicegahnya kasus Bank Century .

Apakah Penyebabnya adalah Pengawasan BI yang lemah ?
Pertama, adalah “lemahnya pengawasan BI”. Pendapat seperti itu, salah satunya disuarakan oleh JK. Tentu saja maksud dari pendapat tersebut adalah bahwa seharusnya tidak mungkin BI tidak mengetahuinya karena peristiwa tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Gejalanya pasti sudah ada ketika masalah tersebut secara bertahap membesar menjadi seperti sekarang ini. Pernyataan tersebut dibantah oleh BI seperti dapat dibaca pada artikel di Kompas bertajuk "pengawasan ketat, manipulasi tetap bisa terjadi "tanggal 31 agustus 2009 Memang benar manipulasi selalu bisa terjadi sekalipun ada pengawasan yang ketat. Mengingat kasus Bank Century tidak terjadi dalam sekejap mata, pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengawasan BI juga tidak bisa menangkap gejala yang ada ketika permasalahan tersebut mengalami eskalasi secara bertahap sampai kondisi yang sekarang ini ? Pertanyaan itulah yang seharusnya dipertanggungjawabkan secara profesional oleh Direktorat Pengawasan Bank Indonesia. Dan pertanyaan itu seharusnya disikapi dengan root cause analysis untuk melakukan, jika perlu, re-engineering filosofi, paradigma, strategi, pendekatan, sistem dan mekanisme proses kerja pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Kesadaran terhadap kebutuhan root-cause analysis untuk penyempurnaan ini seharusnya ada dibenak pejabat BI yang lebih tinggi sehingga usaha penyempurnaan yang efektif memang dapat menghasilkan penyempurnaan yang nyata dan tidak hanya sekedar diatas kertas saja. Kita tidak bisa berlindung pada sistem dan prosedur jika ternyata kita ‘kecolongan’. Ada yang salah pada sistem dan prosedur pengawasan sehingga kita tidak bisa menemukan atau sistem dan prosedur pengawasan sudah baik tetapi tidak tindak lanjut yang efektif dan segera terhadap hal-hal yang ditemukan. Tidak ada gunanya memberikan status comply sementara substansi permasalahan yang sesungguhnya tidak terungkap karena tidak diamati dan diteliti dengan memadai. Sudah bosan rasanya mendengar ’sudah comply’ tetapi tetap ada banyak masalah dan status tersebut tidak bisa mendorong pertumbuhan yang sesungguhnya. Beginilah nasib negara ini yang selalu terpaku pada compliance yang normatif. Hasil nyatanya hanyalah kesusahan pada rakyat saja. Ketidakefektifan pengawasan tersebut menimbulkan pertanyaan selanjutnya yaitu : Jangan-jangan tidak ada mekanisme peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan BI tersebut ? atau mungkin sudah ada, tetapi mekanisme peer review tersebut tidak efektif. Peer review dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. BI harus mengevaluasi pihak ketiga yang melaksanakan peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan yang dimilikinya jika terbukti sistem dan mekanisme pengawasan yang dimiliki ternyata tidak efektif. Diluar aspek efektifitasnya, BPK di peer review oleh ‘BPK’ dari negara lain yang tergabung didalam asosiasi ‘BPK’ dunia bernama INTOSAI seperti dipostingkan salah satu pembacanya di detik dengan tajuk "penyerahan hasil peer review BPK Ri" di Detik tanggal 20 Agustus 2009.

BI bukannya tidak tahu gejalanya, hanya saja tidak tepat menyikapinya ?
Jika ternyata sistem dan proses kerja pengawasan yang dilaksanakan memang sudah berhasil menemukan gejala-gejala masalah yang terjadi pada Bank Century maka pertanyaan berikutnya adalah : Kenapa BI tidak menyikapinya dengan suatu keputusan yang bersifat mencegah permasalahan menjadi berkembang luas ? Pada tulisan Kompas bertajuk "Bank Nakal Jangan Dibantu" 2 September 2009, Drajat mengatakan bahwa “Kesalahan BI bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas.“ Mengenai adanya eskalasi masalah Bank Century kita bisa mengikuti pendapat Drajat Wibowo : ”Ada tiga kesempatan di mana seharusnya bank tersebut ditutup, tetapi BI tak melakukannya,”

Berikut kutipan penjelasan mengenai contoh tidak tepatnya sikap yang diambil oleh BI:

Menurut Dradjad, BI pada tahun 2003 telah mengetahui ketidakberesan Bank CIC (yang lalu bersama Bank Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century tahun 2004) dengan indikasi adanya surat-surat berharga (SSB) valas sekitar Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual. SSB valas yang berpotensi bodong sebenarnya tidak boleh dibeli bank. Keberadaan SSB valas tersebut hanya untuk menyelamatkan neraca bank, yang sejatinya sudah kolaps. Ada indikasi penipuan yang dilakukan pemegang saham. Namun, saat itu BI tidak tegas untuk tidak mengakui SSB valas tersebut. Sebagai solusi, BI malah menyarankan merger. Pascamerger, ternyata SSB valas itu masih bercokol di neraca Bank Century. Instruksi BI agar SSB valas itu dijual ternyata tak bisa dilakukan pemegang saham. ”Saat itu BI sebetulnya kembali punya kesempatan untuk menutup Century, tetapi itu tak juga dilakukan,” katanya. Solusi permasalahan saat itu adalah pembuatan asset management agreement di mana pemegang saham menjamin SSB valas tersebut dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih. Saat Bank Century akhirnya benar-benar kolaps akibat kekurangan likuiditas dan pemburukan aset tahun 2008, ternyata BI kembali menyelamatkannya dengan alasan sistemik. Jadi menurut saya, masalah sesungguhnya adalah pada pengambilan keputusan. Tentu saja pengambilan keputusan yang efektif itu haruslah CEPAT dan sekaligus TEPAT karena menggunakan metode dan pendekatan (baca: analisis cost, benefit dan risiko) yang dapat dipertanggungjawabkan. Baca juga tulisan saya sebelumnya " Apakah bank century merupakan bank gagal yang berpontensi sitemik ?"yang menyinggung masalah pengambilan keputusan juga. Bagaimanapun karakteristik kepribadian dan perilaku seseorang tidak boleh mengorbankan persaratan pengambilan keputusan yang efektif. Seseorang harus bisa merubah kualifikasi dirinya untuk menjadi seorang pengambil keputusan yang efektif jika dia menjadi seorang pemimpin, apapun tingkat kepemimpinannya. Game utama seorang pemimpin adalah pengambilan keputusan yang efektif. Semakin tinggi tingkatan kepemimpinannya maka semakin kompleks dan kebutuhan keputusan yang segera dan tepat menjadi kata kuncinya.


Kesimpulan
Saya secara pribadi sangat berharap bahwa pada akhirnya dapat diketahui situasi yang sesungguhnya, yaitu apakah sistem dan proses kerja pengawasanyang memang lemah atau pengambilan keputusan yang tidak tepat dan segera. Hal itu penting agar dapat dilakukan pembenahan yang tepat. Pengawasan yang efektif akan mampu mendeteksi permasalahan lebih dini. Sikap yang tepat terhadap hasil pengawasan membutuhkan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dan segera sesuai dengan tingkat urgensinya. Melaksanakan pengawasan hanya bertumpu pada compliance yang normatif cenderung tidak akan menemukan masalah-masalah substasial yang sebenarnya terjadi. Dibutuhkan kemampuan analisa yang luas dan mendalam, lebih dari sekedar pengumpulan data dan kelengkapan pengisian form compliance checking. Kegagalan menemukan gejala sesuatu permasalahan yang sesungguhnya sedang terjadi juga mengindikasikan tidak efektifnya sistem dan proses kerja pengawasan yang dimiliki. Setiap kegagalan yang dialami suatu sistem dan proses kerja sudah seharusnya memicu penyempurnaannya yang pelaksanaannya juga harus bisa menghasilkan perubahan substansial yang nyata, bukan hanya terpaku pada produk dokumentasi.


DPR Tuding BI Penyebab Kejatuhan Bank Century

Bank Indonesia (BI) dituding menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam jatuhnya Bank Century sehingga harus disuntik dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo mengatakan BI sangat pandai dalam menemukan masalah terjadi pada perbankan, namun masih lemah dalam penindakan. “Dari dulu harus dirombak total. Kelemahan BI ada di pengawasan bank, BI sangat pintar menemukan masalah tapi penindakan lemah. Jadi harus dirombak BI. Saya dari dulu tidak setuju dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) karena beri beban tambahan. Solusi bukan OJK, tapi rombak total BI,” tandasnya. Menurut Dradjad jika BI bisa bertindak cepat menyelesaikan permasalahan ini, maka kasus Bank Century tidak akan sebesar ini dan dana yang dikeluarkan tidak mencapai Rp6,7 triliun. Pihak LPS, dikatakan Dradjad tidak memberikan data akurat kepada DPR mengenai besaran biaya penyelamatan Bank Century yang dinilai sangat besar. Karena itu Komisi XI meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terhadap penyelamatan Bank Century. “Apakah Century ini termasuk sistemik, lalu apa memang penyelamatannya butuh Rp6,7 triliun karena berdasarkan pengalaman 1998, deposan mana saja yang sudah memperoleh pengembalian lebih cepat,” katanya. Dradjad juga menyambut baik investigasi atau penyelidikan dilakukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap masalah Bank Century ini.  “Alat yang dimiliki KPK lebih lengkap dibanding Komisi XI. Kalau kita cuma ada lewat rapat. KPK berhak menyadap dan menyita, kami berharap investigasi bisa lebih cepat lagi dengan adanya KPK yang masuk,” tandasnya. “Ini adalah uang negara, jadi janggal kalau tidak dilaporkan kepada DPR,” tegasnya lagi. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai masalah membelit Bank Century bukan lah masalah krisis melainkan masalah kriminal, perampokan. Kasus Bank Century ini juga sekaligus menjadi bukti lemahnya pengawasan Bank Indonesia. “Saya terima Menkeu dan Gubernur BI (ketika itu) Pak Boediono melaporkan tentang situasi bank Century (tanggal 25). Dan saya langsung mengatakan masalah Century bukan masalah karena krisis, tapi itu perampokan, kriminal. Karena pengendali bank ini merampok dana bank Century dengan segala cara termasuk obligasi bodong yang dibawa ke luar negeri,” urai JK. Hal itu disampaikan Wapres JK dalam keterangan persnya di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (31/8).

Kronologi bailout

JK juga membantah semua kronologi bailout yang disampaikan Menkeu sebelumnya. JK tetap bersikukuh dirinya tidak diberi tahu soal bailout Bank Century yang kini sudah membengkak hingga Rp6,7 triliun. Yang pasti, dalam pertemuan sebelumnya antara Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI yang ketika itu dijabat Boediono, JK telah menegaskan bahwa masalah ini adalah karena kelemahan BI. “Saya katakan dalam pertemuan itu, ini kriminal, ini perampokan, kenapa kita tolerir. Itulah kelemahan pengawasan BI di situ. Jadi benar menkeu bahwa ini kelemahan BI sebenarnya, yang terpaksa jadi tanggung jawab semuanya, Bahkan ketika itu JK sudah menyatakan agar pemilik Bank Century sebelumnya yakni Robert Tantular harus ditangkap karena masalah ini adalah masalah kriminal. “Karena itu maka saya bilang, pak, penyelesaiannya yang harus ini orang (robert tantular) ditangkap dulu karena kriminal dan perampokan. Karena itu saya minta Gubernur BI Pak Boediono agar ini dilaporkan ke Polisi. Tapi jawaban BI, “Ini tidak ada dasar hukumnya

Sabtu, 24 Oktober 2009

Pemberian Parsel Pada Seorang Auditor (KAP) Menjelang Hari Raya


Pemberian Parsel Pada Seorang Auditor (KAP) Menjelang Hari Raya

Pantaskah Pemberian Parsel Pada Seorang Auditor (KAP) Menjelang Hari Raya Idul Fitri? 


Hari Raya Idul Fitri merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh semua umat muslim di dunia, banyak orang yang menjadikan hari ini sebagai hari untuk saling meminta maaf dan bersilaturahmi diantara sanak saudara, banyak dari mereka yang membawa buah tangan atau parsel untuk deberikan kepada saudara atau teman kerja mereka. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah, pantaskah seorang audit atau KAP mendapatkan parsel? menurut saya itu wajar - wajar saja, walaupun pada aturannya seorang KAP itu tidak diperbolehkan mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pekerjaan mereka, tetapi Hari raya idul fitri memang digunakan sebagai hari untuk bersilaturahmi dan saling memberi yang sudah melekat di negara indonesia ini.

 

KASUS - KASUS AKUNTANSI


KASUS - KASUS AKUNTANSI

KRISIS KAPITALISME DAN KRIMINALITAS KORPORATIS

Tahun 2000

Walden Bello*

Baru baru ini beberapa perusahaan besar yang dulunya terdaftar secara terhormat di Wall street terbongkar praktek praktek tidak layaknya. Fenomena ini adalah hanya sebuah awal. Satu hal yang pasti, yaitu karena memang sudah rawan sebelum jaman Enron, maka legitimasi kapitalisme global sebagai sistim produksi, distribusi dan pertukaran yang dominan akan terus terkikis lebih jauh, bahkan di jantung ranah asal dari sistem ini. Pada jaman kejayaan “Ekonomi Baru” di tahun 2000, survey dari business week memaparkan bahwa 72 persen masyarakat Amerika merasa bahwa perusahaan terlalu menguasai hidup masyarakat. Angka itu sekarang mungkin jauh lebih tinggi lagi.
Sama seperti evaluasi berlebihan terhadap saham yang mengakibatkan jatuhnya perusahaan perusahaan dot.com di Wall street 2000-2001, tindak penyelewengan korporatis merupakan salah satu ciri utama “Ekonomi Baru”. Untuk memahami hal ini, kita perlu memulai dari dua perkembangan penting dalam dinamika kapitalisme global pada kurun 1980-an dan 1990-an: yaitu (1) Kapital finansial menjadi penggerak utama ekonomi global, dan (2) krisis kelebihan kapasitas dan kelebihan produksi dalam ekonomi sektor riil.

Swiss Siap Kerja Sama Pulangkan Duit Koruptor

Koran Tempo (20/09/2007)

Pemerintah Swiss kemarin menyatakan akan mendukung upaya dunia internasional membantu mengembalikan miliaran dolar uang yang ditilap sejumlah pemimpin negara berkembang dan disimpan di sejumlah bank di Swiss. “Kami bersedia bekerja sama,” ujar Menteri Luar Negeri Swiss Micheline Calmy-Rey. Kerja sama itu, kata Calmy-Rey, bisa berbentuk pembekuan aset, restitusi, dan laporan penggunaan uang yang diperoleh dari hasil korupsi. Pemerintah Swiss juga memastikan mereka mendukung penuh program yang diberi nama Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) atau Prakarsa Pengembalian Aset Curian, sebuah program kerja sama Bank Dunia dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

BPK Hanya Inginkan MA Tertib

Kompas (20/09/2007)

Badan Pemeriksa Keuangan ingin Mahkamah Agung menertibkan diri dalam pengelolaan keuangan negara, terutama dari biaya perkara yang dipungut dari masyarakat atau yang disebut penerimaan negara bukan pajak. Karena itu, dana tersebut harus diaudit BPK dan dilaporkan kepada DPR. Namun, kesempatan menertibkan diri secara transparan dan akuntabel itu tak dilakukan MA. Pimpinan MA bahkan mengulur-ulur waktu dan meminta penundaan audit di MA, Pengadilan Tinggi Bandung, Pengadilan Negeri Bandung, dan Pengadilan Agama Bandung. Karena itu, BPK akhirnya melaporkan kepada Polri melalui surat tertanggal 13 September 2007. Demikian kata Ketua BPK Anwar Nasution kepada Kompas di ruang kerjanya, Rabu (19/9).

Kasus BPPC Menanti Nurdin Halid:

Koran Tempo (19/09/2007)

Kejaksaan Agung segera memeriksa Nurdin Halid dalam kasus dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Muhammad Salim mengatakan keterlibatan Nurdin di BPPC dimungkinkan karena saat itu Nurdin merupakan salah satu unsur pemimpin lembaga bentukan Orde Baru tersebut. “Nurdin waktu itu, kan, Ketua Induk Koperasi Unit Desa (Inkud),” katanya kepada wartawan di Jakarta kemarin. Meski demikian, dia enggan menjelaskan apa kapasitas dan peran Nurdin dalam kasus itu BPK Laporkan Pimpinan MA ke Mabes Polri: Uang Biaya Perkara Tidak Bisa Diaudit Kompas (19/09/2007) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK melaporkan pimpinan Mahkamah Agung atau MA ke Mabes Polri karena sikap MA yang menolak diaudit BPK. Laporan ke Mabes Polri telah disampaikan tanggal 13 September 2007. Ketua BPK Anwar Nasution menyampaikan hal itu dalam Rapat Konsultasi Komisi III DPR dengan pimpinan BPK, Selasa (18/9) sore. Rapat konsultasi tertutup itu dipimpin Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.

Dampak Sarbanes Oxley Act pada Profesi Akuntan

admin | July 3, 2008

Belakangan ini muncul istilah baru dalam professi akuntansi. Bahkan ilmu ini tampaknya akan berkolaborasi dengan ilmu hukum dan ilmu investigasi yang biasa dilakukan oleh polisi atau kejaksaaan. Bahkan di Amerika belakangan ini professi akuntan sudah menjalin kerjasama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) yang sangat ditakuti itu dan mereka ini sudah banyak menjadi instruktur Audit forensic dan menjadi bagian dari professi akuntan. Bidang Akuntansi Forensik ini masih merupakan istilah baru kendatipun isu yang dibahasnya sudah lama. Akuntansi Forensik disebut juga auditing forensic atau akuntansi untuk menyelidik praktik kecurangan bahkan di beberapa universitas di Amerika ilmu ini dikaitkan dengan Kecurangan dan etika bahkan dengan dibahas bersama isu risiko. Pada awalnya ilmu ini hanya membahas tentang kesalahan dan cara memperbaikinya. Namun karena intensitas kecurangan korporasi atau skandal akuntansi yang menggunakan media akuntansi semakin banyak dan besar maka perhatian terhadap bidang ini semakin besar pula. Apalagi setelah terungkapnya beberapa skandal besar di Amerika seperti the Cendant/CUC, Informix, Waste Management, World Com, sampai pada puncaknya Enron Corporation.


KORUPSI APBD SIDOARJO: 11 Anggota DPRD 1999-2004 Ditahan

Kompas (13/10/2009)

Sebanyak 11 anggota DPRD Sidoarjo periode 1999-2004 ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (12/10). Mereka terlibat dalam kasus korupsi APBD 2003 senilai Rp 21,4 miliar. Satu dari 11 orang tersebut adalah anggota DPRD Sidoarjo periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kasus ini bermula dari pembagian uang APBD 2003 untuk pos peningkatan kualitas sumber daya anggota DPRD Rp 21,9 miliar yang melibatkan 44 anggota DPRD. Namun, sama sekali tidak ada realisasi anggaran yang berasal dari uang rakyat itu. Mereka yang ditahan kemarin adalah Arly Fauzi (PKB) yang juga mantan Ketua DPRD Sidoarjo, Eko Suparno (PAN), Amrullah (PAN), Sukiyo Wachid (PKB), Maimun Shiroj (PKB), Choirul Anam (PKB), Ismail Sholeh (PKB), Mahally Salim (PKB), Nushah Achmad (PKB), dan Mustafad Ridwan (PKB). Anggota DPRD Sidoarjo 2009-2014 dari PDI-P adalah Tri Endroyono. Seluruh terpidana dihukum antara 1 tahun dan 1,5 tahun pidana penjara serta diwajibkan mengganti kerugian negara rata-rata Rp 250 juta. Selain itu, mereka juga diharuskan membayar denda masing-masing Rp 50 juta atau subsider enam bulan penjara.