Ketika Banjir Melanda
Bencana banjir adalah salah satu bencana alam yang sangat ditakuti warga masyarakat, karena dapat mengakibatkan berbagai penderitaan baik material maupun non material dalam waktu sekejap, banyak masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi merasakan akibat yang sangat merugikan kehidupannya sehari-hari. Ketika banjir melanda selalu banyak yang saling menyalahkan. Para masyarakat banyak mengeluarkan pendapat. Setelah banjir surut perhatian tentang terjadinya banjir ikut surut juga.
Secara asumtif dan analisa fakta, ada beberapa faktor utama sebab musabab terjadinya banjir tersebut, antara lain adalah maraknya penebangan kayu liar. Selain itu, kebiasan buruk masyarakaat yang membuang sampah di kolong rumah, bahkan masih ada sebagian masyarakat yang membuang sampah di sungai, apalagi sampah-sampah tersebut berwujud plastik yang sulit untuk hancur. Bahwa akibat dari kebiasaan buruk ini langsung tidak langsung jadi faktor pendukung terjadinya pendangkalan sungai dan menghambat arus air serta membuat semakin meningginya air di rawa-rawa.
Secara filosofis, ada tiga metode penanggulangan banjir. Pertama, memindahkan warga dari daerah rawan banjir. Cara ini cukup mahal dan belum tentu warga bersedia pindah, walau setiap tahun rumahnya terendam banjir. Kedua, memindahkan banjir keluar dari warga. Cara ini sangat mahal, tetapi sedang populer dilakukan para insinyur banjir, yaitu normalisasi sungai, mengeruk endapan lumpur, menyodet-nyodet sungai. Faktanya banjir masih terus akrab melanda permukiman warga. Ketiga, hidup akrab bersama banjir. Cara ini paling murah dan kehidupan sehari-hari warga menjadi aman walau banjir datang, yaitu dengan membangun rumah-rumah panggung setinggi di atas muka air banjir.
Secara normatif, ada dua metode penanggulangan banjir. Pertama, metode struktur, yaitu dengan konstruksi teknik sipil, antara lain membangun waduk di hulu, kolam penampungan banjir di hilir, tanggul banjir sepanjang tepi sungai, sodetan, pengerukan dan pelebaran alur sungai, sistem polder, serta pemangkasan penghalang aliran. Kedua, metode nonstruktur berbasis masyarakat, yaitu dengan manajemen di hilir di daerah rawan banjir dan manajemen di hulu daerah aliran sungai.
Bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya tidak hanya mengganggu akitivitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat tetapi juga telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Kejadian banjir besar tahun 1996 dan tahun 2002 telah menimbulkan kerugian sebesar 9,8 trilyun rupiah. Sementara kejadian banjir besar pada tahun 2007 yang merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta dan sebagian wilayah di Bodetabek sedikitnya telah menyebabkan 55 orang meninggal dunia, 320.000 orang mengungsi dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah yang terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan atau kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung.
Jakarta tidak akan bebas banjir meski Banjir Kanal Timur (BKT) selesai dibangun. Selain BKT, Jakarta butuh puluhan polder, waduk serta perlu melakukan normalisasi sungai. Namun upaya normalisasi sungai dan pembangunan polder butuh dana besar, sedikitnya Rp 22 triliun. Untuk mengatasi persoalan banjir yang mengancam Jakarta saban tahun itu, pembangunan BKT saja tidak cukup. BKT hanya akan menerima air dari lima aliran sungai yaitu Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Jadi, meski sudah ada BKT tidak berarti wilayah di selatan dan di utara BKT dengan sendirinya akan bebas bajir. Daerah Kelapa Gading misalnya, masih perlu bangun polder. Dalam hitungan yang dilakukan Wakil Gubernur DKI Jakarta, untuk normalisasi sungai perlu dana Rp 16 trilun, sementara untuk pembangun polder dan waduk masing-masing butuh dana Rp 4 triliun dan Rp 2 triliun. (www.google.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar